Senin, 30 April 2012

Selamat Pagi

Puisi Effi Nurtanti

pagi indah....
disemai nyanyian pipit.
hari yang masih dalam kantong bajuku...
tak segera bersolek dalam adonan haru biru
guratan alam...merinduku
... dalam timangan pangkuan Illahi...

aku datang lagi,
menjadi milik hari, dalam egoisnya jarum waktu
melesat, menebas rambt sutra mentari...
aku tak peduli dengan kerling mataku sendiri
inilah hidup....

aku dalam damai, sang rembulan…..
melepas sayapnya untuk memberi  seloroh,
bunga pandan menyeringai pada pagar bambu
saat kamboja dan edelweiss, berteriak melengking
menjamu kepodang dan nuri yang …
telah menyelupkan bulunya
pada embun dini hari

saat kusedu aroma teh
dan panganan pagi “perempuan desa”
dengan pundak lusuh, berdebu batang padi
dan sekerat harap pada bilah hidup

sementara bilik jantung, pada serambi pagi….
menelantarkan kain hitam milik durjana durjana
yang merenggutkan kuku tajamnya
pada birama hidup, aku menggelepar
dalam rindu pada batas hari
yang samar namun tegas membimbingku

aku dalam usungan ceria
menjamu pagi, bersama kelopak bungaku
yang kukrim pada jendela langit

…………………..
nanar dan meradang

(Semarang, pagi 2 Mei 12)

Minggu, 29 April 2012

Tuhanku, aku bukan kue hamburger


Tuhanku, ….
bila aku tak mengenal hariku lagi
terbawa sudah buih ombak di jinjinganku
kulempar sudah jauh, hingga “Edelweis” berhasrat layu
untuk menjenguk kekasihnya, di kerontang padang
tempat  “Bunga Sepatu” melengking teriak
seikat duka menghujamkan kelopaknya

Tuhanku,….
di telaga ini, aku mengalirkan air  sejuk
agar tersingkap tirai yang terajut tajam
bertepi  sembilu jauh mengatur nafas jantungku
aku terhenyak dalam roman kelam di putan bumi
hingga siang dan malam kehilangan batasnya
hingga fajar dan senja hanya berkeling mata

Tuhanku,…..
Aku sendiri harus mengarungi malam,
Agar mampu mengokohkan pagar bambu  rumahku
Tak lagi lembab lantai tanah bilik tidurku
Hingga kelambu peraduanku tak lagi kusam
Untuk mengais sorot mataku jauh ke tebing
Di halaman depan,  tempat ilalang membasuh
kuning sinar mentari

Tuhanku,…..
Aku hanya sebungkus tulang dan daging
Tidak pernah lekat dengan “Humberger “ atau “Pisa”
Kerbau di sawahku adalah “Lamborgini”  tempat Sang Bintang
berbantal keranjang ratusan ribu uang,
aku hanya akrab dengan angin gunung bersyahwat
dengan bulir padi di sawah
aku hanya menjaring musim untuk ayahku yang
melepuh kulitnya, karena memburu  arah musim

Tuhanku,….
Berilah aku setangkai bunga sejuk, agar mampu
kutanam di hati emak yang mengeriput kulit wajahnya
berilah aku juga setangkai mawar merah jambu
agar belahan cintaku tak lagi memburu rajutan pelangi
dengan seribu warna di mahkotanya, akupun telah nanar
mataku sendiri,


Tuhanku, ….
kuatkan kaki dan tangan kasihku
Agar dia mampu berjaga di terik mentari,
Bersolek palawija, mentimun dan sayuran
Dan mengukir mimpi di malam hari,
Kasihku….
Aku bukan sekerat Humberger
Atau Pisa di atas liuk sang jaman

(Effi Nurtanti Semarang, 15 Januari 2012)

Perahu Cinta Kita


telah aku coba membentangkan sayap hari
saat kau merebahkan sebuah benang kelabu membisu
bertaut pada semu sang wajah bulan
aku terperangah dan enggan membuka tabir
yang kau tautkan pada tepi hati
dengan seribu karang bertabur liuk yang tajam

baru kemarin kau selipkan ranum bunga
yang tertanam rapi bermesra dengan kiasan alam
rona kanvas dalam seribu misteri
telah mengungkungi penat sendi sendiku
untuk menerbangkan erotis lampu jalan
hingga terpingit di beranda rumah  kita

engkau menghujamkan detik waktu
yang berlari memburu hari- hari bergerigi tajam
kau usung bersama burung burung camar
melipat dan mengoyak sisi perahu kita
layar perahu telah bersulam benang benang
yang membungkam kering lidahku

Perahu cinta kita
Dalam metamorfosis sayap dan hari,
Dalam gurindam anak anak jaman

( Effi Nurtanti, Semarang, 5 Pebruari 2012)

Rumah Bambu


Beberapa batang rokok telah habis dihisapnya, entah mengapa batang rokok yang dihisapnya sekarang  masih saja kuat melekat di jarinya. Tubuhnya masih saja rebah di kursi kayu jati yang renta membujur di ruang tamu  yang kumuh. Meski sinar mentari telah menghiasi wajah pagi yang kuning menyala, lantaran tersapu kemarau yang menerjang kotanya. Namun dia masih belum beranjak untuk memunguti kehidupanya yang tercecer di roda jaman. Padahal semburat sinar kuning mentari beberapa diantaranya telah menerobos celah dinding bambu yang berlubang, Sementara itu truk pengangkut pasir terus lalu lalang di depan rumahnya

Asap rokoknya masih saja mengepul menutupi wajahnya yang terlihat galau., segalau dunia yang masih saja liar menerima kehidupanya. Entah kehidupan macam apa yang pernah dia jalani, namun tetap saja hanya peluh dan debu yang menebari di sekujur tubuhnya. Gambaran hidup yang dia rengkuh, tak ubahnya seperti gambaran asap rokok, yang tidak pernah memilih gambaran yang pasti. Selalu saja berubah dihempas angin kemarau Gunung Merapi.

Sebentar sebentar terdengar lengkingan batuk panjang istrinya yang telah mongering tubuhnya, lantaran penyakit menahun yang  tak kunjung sembuh. Penghasilan dia yang pas-pasan hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah ke tiga anaknya. Sumitropun hanya mendenguskan nafas panjang, saat dia mengadukan kepada sanubarinya sendiri tentang kehidupannya. Cuaca yang terus menerus dibarengi hujan meski di tengah kemarau, membuatnya tidak berdaya untuk menambang pasir di Kali Krasak. Musim yang tiada menyodorkan kepastian, menyodorkan pula kehidupanya yang kian terhimpit.

“Tiada satupun manusia yang mampu mengatur cuaca, Mas !” nyaring suara  Hartini menyeruak memecahkan lamunan Sumitro yang masih menggantung tentang rencananya ke Malaysia menmgadu nasib.

“Makanya, Tin, aku sudah bosan menjadi penambang pasir yang tiada pernah memberi harapan. Aku tetap ingin kita mengambil resiko, daripada seumur hidup hanya merajut  hidup yang nestapa”.Sumitro kini menjadi lebih bergairah untuk mencoba menantang sebuah kehidupan yang menurut dia adalah suatu misteri yang tiada pernah mampu dipecahkan.

“Mas, kita mengarungi kehidupan ini hanya dengan keberanian, tanpa modal apapun, itu juga sudah penuh resiko. Lantas resiko apa lagi yang kamu inginkan”

“Mestinya kita harus lebih berani lagi mengambil resiko, sudah kepalang tanggung kita mengarungi hidup yang penuh gelombang besar. Sementara itu kitapun tidak pernah merasa aman untuk berlabuh di kehidupan yang penuh bahagia. Kamu tidak menginginkan itu ?”.

Hartini hanya menghiaskan wajahnya dengan senyuman tipisnya, sebuah senyuman yang menjadi awal sebuah hati  yang kekar milik Sumitro berhasil roboh dan mendekam dalam pelukan wanita yang santun ini. Hartini kini lebih mendekatkan duduknya di samping suamnya sambil mengaduksedikit gula dalam kopi pahit kesukaan suaminya.

“Wanita mana yang tidak ingin bahagia bersanding denga harta yang cukup, kehidupan yang tentram. Tapi coba Mas renungkan, kehidupan yang kita miliki sudah cukup bila kita tahu persis diri kita masing-masing, Kita sudah dikarunia tiga putra dan mereka sehat dan pandai. Kita sudah memiliki rumah meski hanya gubug beratap seng berdiding bambu .Mas, apa yang kurang dari kita ?”.

“Aku heran, Tin ?”
“Heran tentang, apa Mas ?”.
“Biasanya yang berkata seperti itu, adalah suami ketika istrinya  merajuk menuntut dunia untuk menghiasi hidupnya., Tapi malah kamu yang bertutur seperti itu. Bagi aku kehidupan seperti ini belum puas, aku ingin kelihatan kamu lebih cantik dengan dandanan yang lebih baik, lantas aku pengin juga menyekolahkan anaku ke kota, agar mereka mengenyam universitas, jangan seperti bapaknya yang hanya sampai kelas 2 SMP”
“Bukan hanya kamu, Mas !, akupun ingin seperti itu ?”
“Lantas mengapa kamu tidak setuju aku ke Malaysia ?”
“ Kalau itu membuat kita lebih bahagia, kenapa tidak Mas ?”
“ Kalau gitu, kamu setuju?”
“Ya, setuju, Mas ?”
“Terus akan kamu lepas kapan tanah itu, mumpung  Pak Ranto berani membelinya !”
“Itulah yang aku tidak setuju, Mas. Tanah itu satu satunya peninggalan orang tuaku. Lagian Mas Hartono juga masih punya hak , bukan aku saja”
“Ah..itu gampang, Tin. Kalau aku sudah di Malaysia, kan bisa aku ganti Mas Har dengan gajiku kerja di sana
“Maaf, Mas, aku tidak setuju,memang Mas Hartono tidak pernah menuntut hak itu. Tapi dia tidak setuju kalau tanah itu dijual.
“Tertus apa artinya tanah itu untuk kehidupan kita, Tin ?”
“Mas Har minta supaya tanah itu dikelola untuk usaha atau untuk ditanami apa saja, dia tidak akan menuntut hak.Tapi dia tidak akan melepas tanah itu untuk dijual”
“Kamu memang istriku yang tidak mengerti cita-cita seorang suami.”
“Mas Sumitro,apa ke Malaysia menjanjikan segalanya ?. Tetap saja manusia tidak lepas dari KodratNYA. Aku takut Mas, keberangkatan Mas ke Malaysia justru nambah kesengsaraan kita, Apalagi dengan menjual tanah kita satu-satunya”
“Terus aku harus bagaimana, apa salah bila aku berhasil membahagiaan keluargaku, termasuk kamu, Hartini !. Aku berani bersumpah, aku tidak akan jatuh ke pelukan wanita lain, kamu sudah hapal, persis wataku..kan ?”
“Bukan masalah itu,..Mas ?”
“Masalah apalagi?”
“Kita manfaatkan saja tanah itu. Selama ini kita kan belum pernah bicara masalah ini”
“Aduuuuh, setengah mati kan Tin.Mau ditanami apa ?.Musim seperti ini tidak bakalan bisa diharapkan”
“Mas, aku diberitahu Mas Koco, temenmu di Kali Krasak”
Ada apa ?
“Dia sanggup menyediakan bibit ikan lele, dia punya relasi di Magelang. Tentu kita bisa beli, orang harganya murah. Kebetulan tanah kita bisa diairi sepanjang tahun, cocok untuk beternak lele”
“Terus mau di juual kemana lele-lele itu”
“Hualah..Mas. Setiap rumah makan pasti menyediakan menu lele kan Mas ?”
“Ah, itu terlalu beresiko, aku nggak punya modal”
‘Kebetulan Mas, aku  bisa menyisihkan modal meski hanya sedikit. Tapi untuk menggali tanah itu,harus pakai tenagamu sendiri lhoMas,bisa kan Mas “

Belum sempat Sumitro memberi jawaban, sebuah pelukan kecil dan ciuman mesra telah disodorkan istri tercintanya. Dilekatkanya bibir istrinya dengan bibir pria yang sedang diliputi kegalauan. Kini pelukan itu telah direnggangkan oleh Hartini, diganti dengan bisikan penuh pesona
“Tolong ya Mas, kali ini aku dibantu, aku pengin lebih bahagia bersamamu”
Sumitropun tak mampu lagi memberi jawaban, yang ada hanya membalas dengan ciuman yang lebih hangat dan mesra, sambil membisikan di telinga istrinya “Kamulah rembulan di atap rumah bambu ini. Aku berjanji tidak akan ke Malaysia demi kamu “.

Pesta Petir


Bersahutan petir memerahkan langit yang berjelaga, sebentar-sebentar terdengar suara  dentuman seribu meriam yang dinyalakan oleh malaikat malaikat penjaga langit. Merahnya bara api kadang kala hanya terasa sepenggalah jaraknya dengan orang-orang yang memilih bersembunyi di bawah selimut. Pekatnya malam betul betul mengungkung mereka semua, lantaran kesetiaan angin malam yang mengembara dan ikut sejenak mengambil nafas menemani tidur mereka semua yang mendengkur.

Di tengah mimpi yang mereka rajut, mereka semua sementara melupakan, bahwa acapkali pesta petir akhir akhir ini sering terjadi justru di tengah musim kemarau. Itulah yang membuat mereka belum siap untuk menyemai padi ataupun tanaman palawija di tengah cuaca yang tidak mereka kenal. Sebagian lagi lebih memilih mengikat perahunya di muara sungai, ketimbang di lahap ganasnya ombak Pantai Selatan.

Sepenggal hidup lagi harus mereka tanggalkan, lantaran alam yang sedang tidak lagi bersahabat. Bertanam padi Lokonpun mereka tangguhkan, lantaran hujan masih saja menerpa di tengah musim kemarau.  Bertanam padi apalagi, di kehidupan mereka yang dipertaruhkan pada tegalan tadah hujan, hujan belum cukup utuk menumbuhkan padi yang manja dengan air hujan. Di tengah sketsa hidup yang pelik, hanyalah putus asa yang mereka usung. Apa daya hujan dengan pesta petir telah merenggut bumi ini, maka perahu, jaring,  dan apapun yang mampu menyambung penghidupan merekapun kini bersandar.

Sang fajarpun kini menyergap mereka, meski sebagian masih berlindung di bawah selimut kumal. Namun sebagian lainnya masih menyambut hasrat membenahi bilah kehidupan yang tiada seberapa kokohnya di sekitar Goa Karang Bolong yang tandus. Meski tegalanya kini telah ditumbuhi ilalang kegetiran, namun mereka masih menyisakan tanaman singkong dan sayuran ala kadarnya untuk sarapan pagi ini.

Sang surya masih bersitegang dengan awan gelap, yang terus saja menghalangi pandanganya. Sehingga Bumi Karang Bolongpun masih dirundung kegelapan, jangankan kehidupan para petani, burung camarpun masih enggan untuk mencari mangsa. Debur ombak Pantai Karang Bolong membuat burung burung camar itu ketakutan. Hanya Suwito saja yang menapaki pagi ini untuk sekedar mencari angin di wajah pagi yang belum bersahabat itu. Sementara dari jauh masih sering terdengar suara gemuruh petir dari kejauhan,  pertanda hujanpun masih menginginkan kehadiranya kembali.

Sementara Suwitopun tahu, bahwa tegalan miliknya sudah tidak mampu memberinya penghidupan keluarganya. Namun kegetiran hatinya yang membuat dia sepagi ini berselimut embun untuk mencoba untuk menjaring angin pagi,  barangkali mampu membalut kegetiran hatinya. Setelah semalam suara nyaring istrinya mengalahkan pesta petir, mengutuk kehidupan mereka yang didera nestapa tiada berujung.

“Sudahlah  Pak, apa yang kita tunggu lagi. Kita kan tahu bahwa sudah banyak tetangga kita yang berangkat ke Bandung, meskipun di sana hanya bekerja menjadi pengemis. Daripada mengandalkan kacang hijau, kedelai dan padi. Nyatanya tetangga kita juga bisa hidup makmur”

“Dari mana kamu tahu kalau mereka mengemis di Bandung ?”. Apa dari mulut mereka sendiri ?”.

“Ya tidak, Pak !. Mereka memang tidak mau terus terang”

“Ya, terus darimana kamu tahu mereka mengemis ?”

“Aku tahu dari, Pak Lurah”

“Mengapa !, mereka tidak mau terus terang ?. Lantaran mereka malu dengan pekerjaan hina itu. Mereka selalu mengaku kalau mereka bekerja di kantor, tapi nyatanya ?. Apa kamu mau aku seperti itu ?”.

“Tapi daripada kita hidup seperti ini. Pak !,  untuk makan besok saja aku sudah tidak punya apa apa lagi. Apa lagi untuk bayar SPP anak anak kita, aku tahu mengemis adalah perbuatan yang tidak kamu sukai, tapi apa anak anak harus berhenti sekolah, apa mereka besok tidak sarapan?”

“Sudahlah, aku yakin besok Tuhan masih memberi kita rejeki. Kalau kau sudah tidak punya beras, sementara ambil saja singkong yang ada di belakang. Besok aku akan semampuku mencari tambahan. Percayalah pada Yang Mengatur Rejeki, kamu harus yakin!”.

Sarung yang lusuh yang melipat di leher Suwito, kini direntangkan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sebentar sebentar Yani putri bungsu pasangan petani itu terjaga dan menangis mencari Ibunya yang lepas dari pelukanya. Suwito kini bersama dengan seluruh warga Karang Bolong mulai merajut mimpi. Sama sekali di wajahnya tidak terdapat guratan kesedihan atau panik, karena Suwito yakin setiap kehidupan pasti akan menjemput siapa saja yang mau mengaisnya. Maka diapun sangat benci dengan tekad teman temanya satu desa yang memilih mengemis di Bandung demi sebilah penghidupan.

Pematang menuju tegalanyapun kini ikut sunyi, tiada satupun tetangganya yang berniat membenahi barang sejengkal tegalan mereka yang terendam air. Padahal tanaman jagung kuning yang ditanam pada bulan bulan lalu kini tenggelam banjir. Bukankah daunya yang masih segar bisa dimanfaatkan untuk pakan sapi dan kambing, Mengapa mereka membiarkan saja ataukah mereka menjadi mudah putus asa. Demikian bisik hati Suwito, yang menyesalkan perilaku tetangganya yang masih larut dalam dinginya pagi, lantaran dipagut hujan yang terus menerus.

Batas pandang Suwito menyapu semua sudut tegalan yang tergenag air dari sudut satu ke sudut lainnya. Bagaikan lautan luas yang tiada bertepi, perasaan getir kini menyelinap alam jantung hatinya. Inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Karang Bolong memilih menjadi pengemis di Bandung. Tanpa secuilpun upaya menyingsingkan lengan guna menepis tegalanya yang terus diterjang banjir, sementara tanah pertanian mereka menjadi kering kerontang ditikam kemarau panjang.

Sejuta bayangan dengan sayap yang terbentang kini memburu hatinya untuk segera menemukan jalan keluar mengatasi kepelikan hidup saudara saudaranya itu. Bayangan dalam hati itulah yang memaksa Suwito berjalan menuju kantor kelurahan guna menemui Marto Suseno sang Lurah Karang Bolong. Meski gagasan itu akan terkulai tak berdaya di gilas birokrasi. Namun karena tekadnya Suwito tidak mau mengikuti jejak saudara saudaranya mengemis ke Bandung,  maka gagasan si kecil itupun akan diperjuangkan mati matian.
***
“Wito !, saluran irigasi di dusun Sibayan telah ada sejak jaman Belanda dulu, namun karena petani malas merawatnya, akhirnya kini telah tertimbun tanah. Apa urusanmu dengan saluran itu ”.

“Aku tidak punya urursan dengan saluran itu, Pak Lurah !. Tapi rakyatlah yang membutuhkan demi kehidupan  mereka ?”

“Dari pertama aku menjabat lurah, aku sudah mengajak warga untuk merehabilitasi saluran tersebut. Aku tahu Wito, sebagian besar wargaku banyak yang mengemis di Bandung,karena tanah mereka tidak mampu lagi menopang kehidupan. Mereka malah lebih senang mengemis di kota besar”

“Aku heran, Pak Lurah !. Mengapa mereka senang mengemis ketimbang bertani. Padahal apabila mereka mau bekerja bakti merehabilitasi saluran tersebut, mereka akan mampu bertahan hidup di Karang Bolong”

“Penghasilan dari mengemis jauh lebih banyak dari bertani. Rata rata orang kota bisa memberi mereka lima ratus sampai seribu rupiah. Coba bayangkan berapa penghasilan mereka per hari?”

“Makanya, Pak Lurah !. Aku akan memimpin seluruh warga untuk bekerja bakti memperbaiki saluran itu. Sampai kapan, entahlah. Yamg pasti saluran itu harus selesai secepatnya “

“Itu gagasan yang bagus, Wito !. Setiap tahun aku mengusulkan dana ke atas, tetapi hingga saat ini belum turun “

“Kalau menunggu bantuan dari atas, sampai kapan kita akan mengatasi masalah ini. Lebih baik aku akan mengumpulkan teman teman untuk mrnggarapnya, setelah pekerjaan di sawah selesai. Kalau semua petani bergabung saya kira nggak akan lama selesai”

“Baguslah kalau begitu Wito, segeralah kamu kerjakan.Oh ya hari ini beras raskin sudah datang di kelurahan. Ambilah jatahmu”

Matahari telah mulai meminang wajah bumi. Jalan jalan desa yang berbatu telah mulai rame,  lalu lalang masyarakat petani di pasar Tambak Mulya mulai kentara. Mereka mulai menjual dan membeli sayur serta kebutuhan hidup lainnya. Demikian juga wajah Suminah istri Suwito yang telah ceria, kala menerima beras raskin jatahnya dan ditambah jatah dari Pak Lurah. Memang itulah Keadilan Sang Pencipta, yang telah menebarkan rejeki kepada siapapun yang selalu tawakal dan pasrah kepadaNYA.

Gaung bersambut, semua petani desa itupun sudah mendengar rencana Suwito untuk merehabilitasi saluran irigasi yang melintang tegalan mereka. Saluran itu diharapkan oleh masyarakat petani gurem mampu memberikan secercah harapan. Lantaran mereka hanya mampu mengadu nasib dengan bertanam musim. Dengan saluran itu nantinya, meski telah hadir pesta petir dengan hujan yang lebatpun tidak menepiskan mereka untuk bertanam palawija, jeruk, kedelai bahkan padi. Inilah suatu kehidupan sederhana yang mampu diusung oleh Suwito dan banyak keluarga lainya.