pagi indah....
disemai nyanyian pipit.
hari yang masih dalam kantong bajuku...
tak segera bersolek dalam adonan haru biru
guratan alam...merinduku ... dalam
timangan pangkuan Illahi...
aku datang lagi, menjadi milik hari, dalam egoisnya jarum waktu melesat, menebas rambt sutra mentari... aku tak peduli dengan kerling mataku sendiri inilah hidup....
Beberapa batang
rokok telah habis dihisapnya, entah mengapa batang rokok yang dihisapnya
sekarang masih saja kuat melekat di
jarinya. Tubuhnya masih saja rebah di kursi kayu jati yang renta membujur di ruang
tamu yang kumuh. Meski sinar mentari
telah menghiasi wajah pagi yang kuning menyala, lantaran tersapu kemarau yang
menerjang kotanya. Namun dia masih belum beranjak untuk memunguti kehidupanya
yang tercecer di roda jaman. Padahal semburat sinar kuning mentari beberapa diantaranya
telah menerobos celah dinding bambu yang berlubang, Sementara itu truk
pengangkut pasir terus lalu lalang di depan rumahnya
Asap rokoknya
masih saja mengepul menutupi wajahnya yang terlihat galau., segalau dunia yang
masih saja liar menerima kehidupanya. Entah kehidupan macam apa yang pernah dia
jalani, namun tetap saja hanya peluh dan debu yang menebari di sekujur
tubuhnya. Gambaran hidup yang dia rengkuh, tak ubahnya seperti gambaran asap
rokok, yang tidak pernah memilih gambaran yang pasti. Selalu saja berubah dihempas
angin kemarau Gunung Merapi.
Sebentar
sebentar terdengar lengkingan batuk panjang istrinya yang telah mongering
tubuhnya, lantaran penyakit menahun yang
tak kunjung sembuh. Penghasilan dia yang pas-pasan hanya cukup untuk
makan dan biaya sekolah ke tiga anaknya. Sumitropun hanya mendenguskan nafas
panjang, saat dia mengadukan kepada sanubarinya sendiri tentang kehidupannya.
Cuaca yang terus menerus dibarengi hujan meski di tengah kemarau, membuatnya
tidak berdaya untuk menambang pasir di Kali Krasak. Musim yang tiada
menyodorkan kepastian, menyodorkan pula kehidupanya yang kian terhimpit.
“Tiada satupun manusia yang mampu mengatur cuaca, Mas !” nyaring suara Hartini menyeruak memecahkan lamunan Sumitro
yang masih menggantung tentang rencananya ke Malaysia menmgadu nasib.
“Makanya, Tin, aku sudah bosan menjadi penambang pasir yang tiada pernah
memberi harapan. Aku tetap ingin kita mengambil resiko, daripada seumur hidup
hanya merajut hidup yang nestapa”.Sumitro
kini menjadi lebih bergairah untuk mencoba menantang sebuah kehidupan yang
menurut dia adalah suatu misteri yang tiada pernah mampu dipecahkan.
“Mas, kita mengarungi kehidupan ini hanya dengan keberanian, tanpa modal
apapun, itu juga sudah penuh resiko. Lantas resiko apa lagi yang kamu inginkan”
“Mestinya kita harus lebih berani lagi mengambil resiko, sudah kepalang
tanggung kita mengarungi hidup yang penuh gelombang besar. Sementara itu
kitapun tidak pernah merasa aman untuk berlabuh di kehidupan yang penuh
bahagia. Kamu tidak menginginkan itu ?”.
Hartini hanya
menghiaskan wajahnya dengan senyuman tipisnya, sebuah senyuman yang menjadi
awal sebuah hati yang kekar milik
Sumitro berhasil roboh dan mendekam dalam pelukan wanita yang santun ini.
Hartini kini lebih mendekatkan duduknya di samping suamnya sambil
mengaduksedikit gula dalam kopi pahit kesukaan suaminya.
“Wanita mana yang tidak ingin bahagia bersanding denga harta yang cukup,
kehidupan yang tentram. Tapi coba Mas renungkan, kehidupan yang kita miliki
sudah cukup bila kita tahu persis diri kita masing-masing, Kita sudah dikarunia
tiga putra dan mereka sehat dan pandai. Kita sudah memiliki rumah meski hanya
gubug beratap seng berdiding bambu .Mas, apa yang kurang dari kita ?”.
“Aku heran, Tin ?”
“Heran tentang, apa Mas ?”.
“Biasanya yang berkata seperti itu, adalah suami ketika istrinya merajuk menuntut dunia untuk menghiasi
hidupnya., Tapi malah kamu yang bertutur seperti itu. Bagi aku kehidupan
seperti ini belum puas, aku ingin kelihatan kamu lebih cantik dengan dandanan
yang lebih baik, lantas aku pengin juga menyekolahkan anaku ke kota, agar mereka mengenyam universitas,
jangan seperti bapaknya yang hanya sampai kelas 2 SMP”
“Bukan hanya kamu, Mas !, akupun ingin seperti itu ?”
“Lantas mengapa kamu tidak setuju aku ke Malaysia ?”
“ Kalau itu membuat kita lebih bahagia, kenapa tidak Mas ?”
“ Kalau gitu, kamu setuju?”
“Ya, setuju, Mas ?”
“Terus akan kamu lepas kapan tanah itu, mumpung Pak Ranto berani membelinya !”
“Itulah yang aku tidak setuju, Mas. Tanah itu satu satunya peninggalan
orang tuaku. Lagian Mas Hartono juga masih punya hak , bukan aku saja”
“Ah..itu gampang, Tin. Kalau aku sudah di Malaysia,
kan bisa aku ganti Mas Har dengan gajiku kerja
di sana”
“Maaf, Mas, aku tidak setuju,memang Mas Hartono tidak pernah menuntut hak
itu. Tapi dia tidak setuju kalau tanah itu dijual.
“Tertus apa artinya tanah itu untuk kehidupan kita, Tin ?”
“Mas Har minta supaya tanah itu dikelola untuk usaha atau untuk ditanami
apa saja, dia tidak akan menuntut hak.Tapi dia tidak akan melepas tanah itu
untuk dijual”
“Kamu memang istriku yang tidak mengerti cita-cita seorang suami.”
“Mas Sumitro,apa ke Malaysia
menjanjikan segalanya ?. Tetap saja manusia tidak lepas dari KodratNYA. Aku
takut Mas, keberangkatan Mas ke Malaysia
justru nambah kesengsaraan kita, Apalagi dengan menjual tanah kita
satu-satunya”
“Terus aku harus bagaimana, apa salah bila aku berhasil membahagiaan
keluargaku, termasuk kamu, Hartini !. Aku berani bersumpah, aku tidak akan
jatuh ke pelukan wanita lain, kamu sudah hapal, persis wataku..kan ?”
“Bukan masalah itu,..Mas ?”
“Masalah apalagi?”
“Kita manfaatkan saja tanah itu. Selama ini kita kan belum pernah bicara masalah ini”
“Aduuuuh, setengah mati kan
Tin.Mau ditanami apa ?.Musim seperti ini tidak bakalan bisa diharapkan”
“Mas, aku diberitahu Mas Koco, temenmu di Kali Krasak”
“Ada apa
?
“Dia sanggup menyediakan bibit ikan lele, dia punya relasi di Magelang.
Tentu kita bisa beli, orang harganya murah. Kebetulan tanah kita bisa diairi
sepanjang tahun, cocok untuk beternak lele”
“Terus mau di juual kemana lele-lele itu”
“Hualah..Mas. Setiap rumah makan pasti menyediakan menu lele kan Mas ?”
“Ah, itu terlalu beresiko, aku nggak punya modal”
‘Kebetulan Mas, aku bisa
menyisihkan modal meski hanya sedikit. Tapi untuk menggali tanah itu,harus
pakai tenagamu sendiri lhoMas,bisa kan
Mas “
Belum sempat
Sumitro memberi jawaban, sebuah pelukan kecil dan ciuman mesra telah disodorkan
istri tercintanya. Dilekatkanya bibir istrinya dengan bibir pria yang sedang
diliputi kegalauan. Kini pelukan itu telah direnggangkan oleh Hartini, diganti
dengan bisikan penuh pesona
“Tolong ya Mas, kali ini aku dibantu, aku pengin lebih bahagia bersamamu”
Sumitropun tak mampu lagi memberi jawaban, yang ada
hanya membalas dengan ciuman yang lebih hangat dan mesra, sambil membisikan di
telinga istrinya “Kamulah rembulan di atap rumah bambu ini. Aku berjanji tidak
akan ke Malaysia
demi kamu “.
Bersahutan petir memerahkan
langit yang berjelaga, sebentar-sebentar terdengar suara dentuman seribu meriam yang dinyalakan oleh
malaikat malaikat penjaga langit. Merahnya bara api kadang kala hanya terasa
sepenggalah jaraknya dengan orang-orang yang memilih bersembunyi di bawah
selimut. Pekatnya malam betul betul mengungkung mereka semua, lantaran
kesetiaan angin malam yang mengembara dan ikut sejenak mengambil nafas menemani
tidur mereka semua yang mendengkur.
Di tengah mimpi yang mereka rajut,
mereka semua sementara melupakan, bahwa acapkali pesta petir akhir akhir ini
sering terjadi justru di tengah musim kemarau. Itulah yang membuat mereka belum
siap untuk menyemai padi ataupun tanaman palawija di tengah cuaca yang tidak
mereka kenal. Sebagian lagi lebih memilih mengikat perahunya di muara sungai,
ketimbang di lahap ganasnya ombak Pantai Selatan.
Sepenggal hidup lagi harus mereka
tanggalkan, lantaran alam yang sedang tidak lagi bersahabat. Bertanam padi
Lokonpun mereka tangguhkan, lantaran hujan masih saja menerpa di tengah musim
kemarau. Bertanam padi apalagi, di
kehidupan mereka yang dipertaruhkan pada tegalan tadah hujan, hujan belum cukup
utuk menumbuhkan padi yang manja dengan air hujan. Di tengah sketsa hidup yang
pelik, hanyalah putus asa yang mereka usung. Apa daya hujan dengan pesta petir
telah merenggut bumi ini, maka perahu, jaring, dan apapun yang mampu menyambung penghidupan
merekapun kini bersandar.
Sang fajarpun kini menyergap mereka,
meski sebagian masih berlindung di bawah selimut kumal. Namun sebagian lainnya
masih menyambut hasrat membenahi bilah kehidupan yang tiada seberapa kokohnya
di sekitar Goa Karang Bolong yang tandus. Meski tegalanya kini telah ditumbuhi
ilalang kegetiran, namun mereka masih menyisakan tanaman singkong dan sayuran
ala kadarnya untuk sarapan pagi ini.
Sang surya masih bersitegang
dengan awan gelap, yang terus saja menghalangi pandanganya. Sehingga Bumi
Karang Bolongpun masih dirundung kegelapan, jangankan kehidupan para petani,
burung camarpun masih enggan untuk mencari mangsa. Debur ombak Pantai Karang
Bolong membuat burung burung camar itu ketakutan. Hanya Suwito saja yang
menapaki pagi ini untuk sekedar mencari angin di wajah pagi yang belum
bersahabat itu. Sementara dari jauh masih sering terdengar suara gemuruh petir
dari kejauhan,pertanda hujanpun masih
menginginkan kehadiranya kembali.
Sementara Suwitopun tahu, bahwa
tegalan miliknya sudah tidak mampu memberinya penghidupan keluarganya. Namun
kegetiran hatinya yang membuat dia sepagi ini berselimut embun untuk mencoba
untuk menjaring angin pagi, barangkali
mampu membalut kegetiran hatinya. Setelah semalam suara nyaring istrinya
mengalahkan pesta petir, mengutuk kehidupan mereka yang didera nestapa tiada
berujung.
“SudahlahPak, apa yang kita tunggu lagi. Kita kan tahu bahwa sudah banyak tetangga kita yang berangkat
ke Bandung, meskipun di sana hanya bekerja menjadi pengemis. Daripada
mengandalkan kacang hijau, kedelai dan padi. Nyatanya tetangga kita juga bisa hidup
makmur”
“Dari mana kamu tahu kalau mereka
mengemis di Bandung
?”. Apa dari mulut mereka sendiri ?”.
“Ya tidak, Pak !. Mereka memang
tidak mau terus terang”
“Ya, terus darimana kamu tahu
mereka mengemis ?”
“Aku tahu dari, Pak Lurah”
“Mengapa !, mereka tidak mau
terus terang ?. Lantaran mereka malu dengan pekerjaan hina itu. Mereka selalu
mengaku kalau mereka bekerja di kantor, tapi nyatanya ?. Apa kamu mau aku
seperti itu ?”.
“Tapi daripada kita hidup seperti
ini. Pak !,untuk makan besok saja aku
sudah tidak punya apa apa lagi. Apa lagi untuk bayar SPP anak anak kita, aku
tahu mengemis adalah perbuatan yang tidak kamu sukai, tapi apa anak anak harus
berhenti sekolah, apa mereka besok tidak sarapan?”
“Sudahlah, aku yakin besok Tuhan
masih memberi kita rejeki. Kalau kau sudah tidak punya beras, sementara ambil
saja singkong yang ada di belakang. Besok aku akan semampuku mencari tambahan.
Percayalah pada Yang Mengatur Rejeki, kamu harus yakin!”.
Sarung yang lusuh yang melipat di
leher Suwito, kini direntangkan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sebentar
sebentar Yani putri bungsu pasangan petani itu terjaga dan menangis mencari
Ibunya yang lepas dari pelukanya. Suwito kini bersama dengan seluruh warga
Karang Bolong mulai merajut mimpi. Sama sekali di wajahnya tidak terdapat
guratan kesedihan atau panik, karena Suwito yakin setiap kehidupan pasti akan
menjemput siapa saja yang mau mengaisnya. Maka diapun sangat benci dengan tekad
teman temanya satu desa yang memilih mengemis di Bandung demi sebilah penghidupan.
Pematang menuju tegalanyapun kini
ikut sunyi, tiada satupun tetangganya yang berniat membenahi barang sejengkal
tegalan mereka yang terendam air. Padahal tanaman jagung kuning yang ditanam
pada bulan bulan lalu kini tenggelam banjir. Bukankah daunya yang masih segar
bisa dimanfaatkan untuk pakan sapi dan kambing, Mengapa mereka membiarkan saja
ataukah mereka menjadi mudah putus asa. Demikian bisik hati Suwito, yang
menyesalkan perilaku tetangganya yang masih larut dalam dinginya pagi, lantaran
dipagut hujan yang terus menerus.
Batas pandang Suwito menyapu
semua sudut tegalan yang tergenag air dari sudut satu ke sudut lainnya.
Bagaikan lautan luas yang tiada bertepi, perasaan getir kini menyelinap alam
jantung hatinya. Inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Karang
Bolong memilih menjadi pengemis di Bandung.
Tanpa secuilpun upaya menyingsingkan lengan guna menepis tegalanya yang terus
diterjang banjir, sementara tanah pertanian mereka menjadi kering kerontang
ditikam kemarau panjang.
Sejuta bayangan dengan sayap yang
terbentang kini memburu hatinya untuk segera menemukan jalan keluar mengatasi
kepelikan hidup saudara saudaranya itu. Bayangan dalam hati itulah yang memaksa
Suwito berjalan menuju kantor kelurahan guna menemui Marto Suseno sang Lurah
Karang Bolong. Meski gagasan itu akan terkulai tak berdaya di gilas birokrasi.
Namun karena tekadnya Suwito tidak mau mengikuti jejak saudara saudaranya mengemis
ke Bandung,maka gagasan si kecil itupun
akan diperjuangkan mati matian.
***
“Wito !, saluran irigasi di dusun
Sibayan telah ada sejak jaman Belanda dulu, namun karena petani malas
merawatnya, akhirnya kini telah tertimbun tanah. Apa urusanmu dengan saluran
itu ”.
“Aku tidak punya urursan dengan
saluran itu, Pak Lurah !. Tapi rakyatlah yang membutuhkan demi kehidupanmereka ?”
“Dari pertama aku menjabat lurah,
aku sudah mengajak warga untuk merehabilitasi saluran tersebut. Aku tahu Wito,
sebagian besar wargaku banyak yang mengemis di Bandung,karena tanah mereka tidak mampu lagi
menopang kehidupan. Mereka malah lebih senang mengemis di kota besar”
“Aku heran, Pak Lurah !. Mengapa
mereka senang mengemis ketimbang bertani. Padahal apabila mereka mau bekerja
bakti merehabilitasi saluran tersebut, mereka akan mampu bertahan hidup di
Karang Bolong”
“Penghasilan dari mengemis jauh
lebih banyak dari bertani. Rata rata orang kota
bisa memberi mereka lima
ratus sampai seribu rupiah. Coba bayangkan berapa penghasilan mereka per hari?”
“Makanya, Pak Lurah !. Aku akan
memimpin seluruh warga untuk bekerja bakti memperbaiki saluran itu. Sampai
kapan, entahlah. Yamg pasti saluran itu harus selesai secepatnya “
“Itu gagasan yang bagus, Wito !.
Setiap tahun aku mengusulkan dana ke atas, tetapi hingga saat ini belum turun “
“Kalau menunggu bantuan dari
atas, sampai kapan kita akan mengatasi masalah ini. Lebih baik aku akan
mengumpulkan teman teman untuk mrnggarapnya, setelah pekerjaan di sawah
selesai. Kalau semua petani bergabung saya kira nggak akan lama selesai”
“Baguslah kalau begitu Wito,
segeralah kamu kerjakan.Oh ya hari ini beras raskin sudah datang di kelurahan.
Ambilah jatahmu”
Matahari telah mulai meminang
wajah bumi. Jalan jalan desa yang berbatu telah mulai rame,lalu lalang masyarakat petani di pasar Tambak
Mulya mulai kentara. Mereka mulai menjual dan membeli sayur serta kebutuhan
hidup lainnya. Demikian juga wajah Suminah istri Suwito yang telah ceria, kala
menerima beras raskin jatahnya dan ditambah jatah dari Pak Lurah. Memang itulah
Keadilan Sang Pencipta, yang telah menebarkan rejeki kepada siapapun yang selalu
tawakal dan pasrah kepadaNYA.
Gaung bersambut, semua petani desa itupun sudah
mendengar rencana Suwito untuk merehabilitasi saluran irigasi yang melintang
tegalan mereka. Saluran itu diharapkan oleh masyarakat petani gurem mampu
memberikan secercah harapan. Lantaran mereka hanya mampu mengadu nasib dengan
bertanam musim. Dengan saluran itu nantinya, meski telah hadir pesta petir
dengan hujan yang lebatpun tidak menepiskan mereka untuk bertanam palawija,
jeruk, kedelai bahkan padi. Inilah suatu kehidupan sederhana yang mampu diusung
oleh Suwito dan banyak keluarga lainya.