Senin, 30 April 2012

Sayap Sayap Cinderella yang Patah


Apa mau dikata sebelum semua ini terjadi,  memang hari hari yang dilewati terasa indah dan berlalu begitu saja. Bagi Cassy jarum waktu menebas atmosfer yang dihirupnya, terlewatkan begitu saja. Namun ternyata Tuhan Yang Kuasa menghendaki lain, hari hari yang melingkungi kini bagaikan rantai berduri yang melilit leher dan sekujur tubuhnya. Setiap sorot mata teman sekelasnya, bagi dia serasa menyudutkanya. Entah apa dan dosa dia ataukah ini hanya perasaan dia saja yang sudah tidak memiliki hari indah penuh enjoy. Mengapa pula tumpahan cobaan hidup bagi remaja flamboyant ini, harus dia hadapi saat dia duduk di kelas XII, yang beberap pecan lagi dia harus menempuh UN.

Sempat Cassy hampir satu bulan  tidak masuk sekolah semenjak mama dan papinya berpisah dihempas prahara yang membuat getir hatinya. Maka saat itu hanya dinding kamarnya saja yang mampu dia jadikan tumpahan curhat, meski selama itu dinding dinding kamarnya hanya diam membisu. Seloroh seloroh dalam canda ria bersama dengan teman sekelasnya, yang cuakepnya hampir sama dengan Boneka Barbie saat itu dia tepiskan, atau dia lebih memilih untuk menuangkan air matanya di atas bantal gulingnya.

Sesekali Cassy lebih memilih duduk termenung di ayunan di bawah pohon jambu di belakang rumah. Tempat itulah yang kerap menjadi tumpahan manja dia pada papinya, saat dia masih kecil. Setiap Hari Minggu dia selalu bermanja dalam canda sayang bersama papi dan adik-adiknya. Termasuk suatu hari, saat hari menjelang senja di awal bulan ini. Saat saat itu kembali datang, meski dalam kemasan lamunan. Hingga Cassy  terlihat sering tertawa sendiri, lantas tak berapa lama air matanya meggantikan tawa riangnya. Betapa papanya meninggalkan dia begitu saja, begitu juga maminya yang masih kelihatan cantik dan muda, yang lebih senang bergumul kepalsuan hidup dengan pria lainya.

Hati Cassy terus menjadi bulan bulanan ombak Laut Selatan, terombang ambing antara kenyataan yang merenggutnya dan sebuah  protes entah kepada siapa, mengapa kenyataan ini meski terjadi. Mengapa sesuatu yang terindah di dunia ini, harus hiolang begitu saja ?. Meski pada sore itu telinganya  mendengar deru mobil yang dia kenal telah memasuki halaman rumahnya yang senyap. Diapun segera beranjak dari kursinya untuk segera menjumpai sokib satu kelasnya.

“Oh..sokibku semua, met jumpa lagi….dari mana saja kamu !..yuk silakan duduk ?” Senyum halus Cassy tersungging dengan renyah wajah yag disodokan pada Kimberly,
2
Albert dan Siska, yang begitu saja pada sedang merebahkan punggungnyadi kursi bambu
yang tertata di beranda depan rumah Cassy yang luas. Sementara  mendung mengintip di belahan langit sebelah barat. Pertanda sebentar lagi hujan akan menyambangi mereka.

“Cassy !, kamu tambah nekad ya !, eh kamu sudah dua hari ini tidak ikut try-out. Tadi pagi Pak Chandra nanyain kamu. Ayo dong be happy masa so sad terus. Kalau kota kita berselimut mendung tebal, janganlah hati kamu juga ikut mendung, piss friend !” pinta Kimberly yang sudah lama kental dengan Cassy seperti saudara sekandung.

“Teman teman dari klas lain malah mengira kamu pindah kota. Mereka berusaha calling kamu, tetapi hp kamu tidak aktif. Ayo dong, Cinderella ! besok gabung lagi dengan kita, aku mau deh njemput kamu, asal kamu mau berangkat, gimana ?” pinta Albert yang ikut merasa kegetian hati Cassy, Cinderella yang sekarang berwajah seperti kotanya, tertutup gulungan tebal awan hitam.

“Terimakasih, sokibku semua. Sungguh aku sama sekali tidak ingin datang ke sekolah, jangankan untuk ikut try-out. Seluruh hatiku tertutup awan gelap, sama sekali aku tak selera berbuat apapun. Aku tidak sanggup ikut try out, biar aku langsung ikut UN saja, sampaikan Pak Chandra, ya !”.

“Cassy !, bukan itu masalahnya !. Tapi kita sekarang  kehilangan kamu !. Kamu sanggup memberi inspirasi pada kita semua, bila kita sedang menghadapi masalah. Lagian kamu memang selalu ceria sepanjang hari, ini yang membuat kita kehilangan, friend !” seru Siska di tengah wajah Cassy yang mulai memerah jambu, setelah beberapa saat lalu wajah yang cantik dan melangkonis itu pucat pasi. Selintas hadir di sisi hati Cassy betapa bahagianya saat di tengah mereka. Baik sokib cewek ataupun yang cowok selalu memanggilnya “Cinderella Putri Negeri Kaca”. Memang wajah Cassy cantik jelita, seperti mamanya yang keturunan Belanda dan Ambon. Sedangkan papanya meski kelahiran asli Jawa, namun wajahnya ganteng seperti actor sinetron.

Selain itu Cassy dikenal semua sokibnya sebagai cewek yang luwes, familiar dan mau dekat dengan sokib dari kalangan mana saja. Perihal kehalusan dan budi pekertinya semua sokib dan guru-gurunya tidak memungkiri kelebihanya itu. Meski dia sanggup tampil elegan di tempat manapun, tapi dia memilih untuk tampil bersahaja. Namun saat saat ini dia berubah karakter begitu saja, sepertinya iblis bersayap telah merenggut seluruh hatinya, tinggalah sisi gelap hatinya yang terus membawanya bersikap acuh pada siapapun, malas dan tidak memiliki tanggung jawab pribadinya terhadap masa depanya, yang seindah rajutan benang sutra.

3
Hujan deras kini menerpa kota itu, mereka bertigapun segera pamit setelah mendapatkan
janji dari Cassy untuk gabung lagi dengan mereka semua esok hari.

Cassy menjadi acuh tanpa alasan pada Stevan yang telah lama berusaha mendekati dirinya, meski sebelum itu Stevanpun hanya dianggap sahabat biasanya. Namun bagi Stevan sikap Cassy yang lembut dan penuh peduli, dianggapnya telah membuka kedua tanganya pada hasrat Stevan.Pada suatu pagi Stevanpun datang ke rumah Cassy dengan bekal mampu menjadi dewa penolong terhadap keterpurukan hati Cassy.

“Akupun sama sepertimu Cassy !, menjadi korban perpisahan mama dan papaku. Tapi aku biasa saja, karena semua manusiapun akan mendapat giliran dari Yang Kuasa mendapatkan cobaan “. Stevan berharap sekali mampu menyembuhkan sisi hati Cassy yang sedang sakit.

“Itulah bedanya aku dan kamu, Stev !!!”

“Bedanya di mana ?”

“Kamu mungkin terbiasa dengan sikap tidak saling mencintai sesama keluarga “ jawab Cassy dengan suara yang pelan dan datar.

“Mana bisa dalam satu keluarga tidak saling menghargai satu sama lain ?“ jawab Stevan.

“Bisa saja, Stevan !,  dan banyak contohnya. Mama dan papa mereka sibuk dengan bisnis dan ambisinya masing masing. Sementara putra-putranya menjadi liar tak pernah tersentuh kasih sayang. Mungkin  kamupun  terbiasa bersikap acuh dengan mama dan papamu”

“Kamu seperti psikolog Cassy !, kalau mama papamu masih serasi dan bahagia, mengapa mereka berpisah ?”

“Itulah manusia, Stev !, dan akupun menjadi shok karena perpisahan mereka. Semua yang aku hadapi tiap hari hanya limpahan kasih sayang mereka berdua dan sebaliknya. Maaf Stevan, aku harap kita hanya sebatas sahabat saja tanpa lebih dari itu. Apa yang kamu pinta sebelum itu, akupun tidak mengerti. Kan sudah sewajarnya sesama karib saling menyayangi “

“Cassy !, OK !, aku rela menjadi korban pelampiasan hati kamu, tapi jujur saja Cassy,
aku tidak mampu jauh dari kamu “ rintih Stevan seperti hari-hari sebelumnya selalu
4
bersikap seperti itu.
“Aku harap engkau bisa menjadi sahabatku, maka berilah aku kebebasan untuk
menentukan apa yang ada di hatiku. Sungguh Stevan !, semua teman pria yang berada diseputarku, aku anggap sebagai teman biasa. Piss, Stevan !!!! “. Stevan tak mampu lagi member jawaban pada semua yang dikatakan Cassy, dia hanya pamit dan pergi.

***
Pak Chandra hanya mengusung sebuah senyuman yang menyuratkan bahwa dia tahu persis apa yang sedang menyelimuti hati dan perasaan Cassy. Maka dia sebagai kepala sekolah tanpa banyak bersikap menyalahkan Cassy. Pak Chandra hanya meminta Cassy untuk kembali terlibat aktif di try out terakhir minggu ini.

“Cassy apa kabar !, Cinderella kita hadir lagi !” teriak Bram.

“Rencana hari ini kami semua akan ke rumahmu untuk meminta kamu comeback “ . Sahut Puguh ketua kelas mereka.

“Oh My God, bidadarimu kembali tampak di depan kita semua “ Siska segera menyeruak ke tengah kerumunan mereka dan segera menyodorkan jabat tangan pada sahabat setianya. Sementara Stevan dengan langkah perlahan mendekati Cassy sambil juga menyodorkan tangan kananya untuk sebuah jabat tangan, dengan sebuah bisikan “ Cass, habis try out aku antar kamu ke Bu Wulan” pinta Stevan.

“Tidak usah Stev !, biar aku saja yang menghadap sendirian.
***

“Nah, kamu lihat tadi teman temanmu kehilangan kamu semua, kan Cass ?”

“Iya bu !”

“Mereka semua tetap ceria dan aktif sekolah !”

“Mereka tidak punya masalah keluarga, bu !”

“Siapa bilang, Cass !, Bu Wulan sebagai wali kelas, biasa mendapat pengaduan dari mereka. Mereka semua juga punya masalah sepertimu !”

“Tapi masalahnya lain dengan Cassy, bu !”

5
“Ya, betul, Cassy !. Tetapi ada beberapa yang yang jauh lebih berat dari kamu “

“Mereka semua tidak pernah cerita sama Cassy “
“Kamu tahu Kimberly ?, dia diasuh oleh bukan ortunya sendiri. Sementara hingga kini dia pengin sekali bertemu dengan ortu kandungnya. Juga Nur Hayati yang mamanya dikabarkan meninggal di Arab, sedangkan bapaknya di rumah  stress. Akhirnya Bu Wulan ikut membantu biaya sekolah, karena dia sebentar lagi ikut UN. Cassy !, cerialah seperti sebelumnya !” pinta Bu Wulan.

“Iya bu !, Cassy akan berusaha !”

“Cassy bahagia dan kesedihan dari setiap manusia, itu hanya tergantung dari sisi hati sebelah mana. Bu Wulan sudah lama mengamati kamu dan Bu Wulan kagum dengan pribadimu. Bu Wulan yakin kamu akan mampu mengurai derita hatimu !. Untuk melupakan derita itu, cobalah kamu teruskan bisnis mamamu, kamu saya yakin mampu bisnis di bidang boutiq, menggantikan mamamu”

“Cassy mengerti Bu !”

Udara di sinang hari itu kembali cerah, sang mentari tak lagi bermuka cemberut, demikian juga hati Cassy yang mulai benderang. Sementara itu sayap Sang Putri Negeri Kaca kembali berkepak lagi***

Selamat Pagi

Puisi Effi Nurtanti

pagi indah....
disemai nyanyian pipit.
hari yang masih dalam kantong bajuku...
tak segera bersolek dalam adonan haru biru
guratan alam...merinduku
... dalam timangan pangkuan Illahi...

aku datang lagi,
menjadi milik hari, dalam egoisnya jarum waktu
melesat, menebas rambt sutra mentari...
aku tak peduli dengan kerling mataku sendiri
inilah hidup....

aku dalam damai, sang rembulan…..
melepas sayapnya untuk memberi  seloroh,
bunga pandan menyeringai pada pagar bambu
saat kamboja dan edelweiss, berteriak melengking
menjamu kepodang dan nuri yang …
telah menyelupkan bulunya
pada embun dini hari

saat kusedu aroma teh
dan panganan pagi “perempuan desa”
dengan pundak lusuh, berdebu batang padi
dan sekerat harap pada bilah hidup

sementara bilik jantung, pada serambi pagi….
menelantarkan kain hitam milik durjana durjana
yang merenggutkan kuku tajamnya
pada birama hidup, aku menggelepar
dalam rindu pada batas hari
yang samar namun tegas membimbingku

aku dalam usungan ceria
menjamu pagi, bersama kelopak bungaku
yang kukrim pada jendela langit

…………………..
nanar dan meradang

(Semarang, pagi 2 Mei 12)

Minggu, 29 April 2012

Tuhanku, aku bukan kue hamburger


Tuhanku, ….
bila aku tak mengenal hariku lagi
terbawa sudah buih ombak di jinjinganku
kulempar sudah jauh, hingga “Edelweis” berhasrat layu
untuk menjenguk kekasihnya, di kerontang padang
tempat  “Bunga Sepatu” melengking teriak
seikat duka menghujamkan kelopaknya

Tuhanku,….
di telaga ini, aku mengalirkan air  sejuk
agar tersingkap tirai yang terajut tajam
bertepi  sembilu jauh mengatur nafas jantungku
aku terhenyak dalam roman kelam di putan bumi
hingga siang dan malam kehilangan batasnya
hingga fajar dan senja hanya berkeling mata

Tuhanku,…..
Aku sendiri harus mengarungi malam,
Agar mampu mengokohkan pagar bambu  rumahku
Tak lagi lembab lantai tanah bilik tidurku
Hingga kelambu peraduanku tak lagi kusam
Untuk mengais sorot mataku jauh ke tebing
Di halaman depan,  tempat ilalang membasuh
kuning sinar mentari

Tuhanku,…..
Aku hanya sebungkus tulang dan daging
Tidak pernah lekat dengan “Humberger “ atau “Pisa”
Kerbau di sawahku adalah “Lamborgini”  tempat Sang Bintang
berbantal keranjang ratusan ribu uang,
aku hanya akrab dengan angin gunung bersyahwat
dengan bulir padi di sawah
aku hanya menjaring musim untuk ayahku yang
melepuh kulitnya, karena memburu  arah musim

Tuhanku,….
Berilah aku setangkai bunga sejuk, agar mampu
kutanam di hati emak yang mengeriput kulit wajahnya
berilah aku juga setangkai mawar merah jambu
agar belahan cintaku tak lagi memburu rajutan pelangi
dengan seribu warna di mahkotanya, akupun telah nanar
mataku sendiri,


Tuhanku, ….
kuatkan kaki dan tangan kasihku
Agar dia mampu berjaga di terik mentari,
Bersolek palawija, mentimun dan sayuran
Dan mengukir mimpi di malam hari,
Kasihku….
Aku bukan sekerat Humberger
Atau Pisa di atas liuk sang jaman

(Effi Nurtanti Semarang, 15 Januari 2012)

Perahu Cinta Kita


telah aku coba membentangkan sayap hari
saat kau merebahkan sebuah benang kelabu membisu
bertaut pada semu sang wajah bulan
aku terperangah dan enggan membuka tabir
yang kau tautkan pada tepi hati
dengan seribu karang bertabur liuk yang tajam

baru kemarin kau selipkan ranum bunga
yang tertanam rapi bermesra dengan kiasan alam
rona kanvas dalam seribu misteri
telah mengungkungi penat sendi sendiku
untuk menerbangkan erotis lampu jalan
hingga terpingit di beranda rumah  kita

engkau menghujamkan detik waktu
yang berlari memburu hari- hari bergerigi tajam
kau usung bersama burung burung camar
melipat dan mengoyak sisi perahu kita
layar perahu telah bersulam benang benang
yang membungkam kering lidahku

Perahu cinta kita
Dalam metamorfosis sayap dan hari,
Dalam gurindam anak anak jaman

( Effi Nurtanti, Semarang, 5 Pebruari 2012)

Rumah Bambu


Beberapa batang rokok telah habis dihisapnya, entah mengapa batang rokok yang dihisapnya sekarang  masih saja kuat melekat di jarinya. Tubuhnya masih saja rebah di kursi kayu jati yang renta membujur di ruang tamu  yang kumuh. Meski sinar mentari telah menghiasi wajah pagi yang kuning menyala, lantaran tersapu kemarau yang menerjang kotanya. Namun dia masih belum beranjak untuk memunguti kehidupanya yang tercecer di roda jaman. Padahal semburat sinar kuning mentari beberapa diantaranya telah menerobos celah dinding bambu yang berlubang, Sementara itu truk pengangkut pasir terus lalu lalang di depan rumahnya

Asap rokoknya masih saja mengepul menutupi wajahnya yang terlihat galau., segalau dunia yang masih saja liar menerima kehidupanya. Entah kehidupan macam apa yang pernah dia jalani, namun tetap saja hanya peluh dan debu yang menebari di sekujur tubuhnya. Gambaran hidup yang dia rengkuh, tak ubahnya seperti gambaran asap rokok, yang tidak pernah memilih gambaran yang pasti. Selalu saja berubah dihempas angin kemarau Gunung Merapi.

Sebentar sebentar terdengar lengkingan batuk panjang istrinya yang telah mongering tubuhnya, lantaran penyakit menahun yang  tak kunjung sembuh. Penghasilan dia yang pas-pasan hanya cukup untuk makan dan biaya sekolah ke tiga anaknya. Sumitropun hanya mendenguskan nafas panjang, saat dia mengadukan kepada sanubarinya sendiri tentang kehidupannya. Cuaca yang terus menerus dibarengi hujan meski di tengah kemarau, membuatnya tidak berdaya untuk menambang pasir di Kali Krasak. Musim yang tiada menyodorkan kepastian, menyodorkan pula kehidupanya yang kian terhimpit.

“Tiada satupun manusia yang mampu mengatur cuaca, Mas !” nyaring suara  Hartini menyeruak memecahkan lamunan Sumitro yang masih menggantung tentang rencananya ke Malaysia menmgadu nasib.

“Makanya, Tin, aku sudah bosan menjadi penambang pasir yang tiada pernah memberi harapan. Aku tetap ingin kita mengambil resiko, daripada seumur hidup hanya merajut  hidup yang nestapa”.Sumitro kini menjadi lebih bergairah untuk mencoba menantang sebuah kehidupan yang menurut dia adalah suatu misteri yang tiada pernah mampu dipecahkan.

“Mas, kita mengarungi kehidupan ini hanya dengan keberanian, tanpa modal apapun, itu juga sudah penuh resiko. Lantas resiko apa lagi yang kamu inginkan”

“Mestinya kita harus lebih berani lagi mengambil resiko, sudah kepalang tanggung kita mengarungi hidup yang penuh gelombang besar. Sementara itu kitapun tidak pernah merasa aman untuk berlabuh di kehidupan yang penuh bahagia. Kamu tidak menginginkan itu ?”.

Hartini hanya menghiaskan wajahnya dengan senyuman tipisnya, sebuah senyuman yang menjadi awal sebuah hati  yang kekar milik Sumitro berhasil roboh dan mendekam dalam pelukan wanita yang santun ini. Hartini kini lebih mendekatkan duduknya di samping suamnya sambil mengaduksedikit gula dalam kopi pahit kesukaan suaminya.

“Wanita mana yang tidak ingin bahagia bersanding denga harta yang cukup, kehidupan yang tentram. Tapi coba Mas renungkan, kehidupan yang kita miliki sudah cukup bila kita tahu persis diri kita masing-masing, Kita sudah dikarunia tiga putra dan mereka sehat dan pandai. Kita sudah memiliki rumah meski hanya gubug beratap seng berdiding bambu .Mas, apa yang kurang dari kita ?”.

“Aku heran, Tin ?”
“Heran tentang, apa Mas ?”.
“Biasanya yang berkata seperti itu, adalah suami ketika istrinya  merajuk menuntut dunia untuk menghiasi hidupnya., Tapi malah kamu yang bertutur seperti itu. Bagi aku kehidupan seperti ini belum puas, aku ingin kelihatan kamu lebih cantik dengan dandanan yang lebih baik, lantas aku pengin juga menyekolahkan anaku ke kota, agar mereka mengenyam universitas, jangan seperti bapaknya yang hanya sampai kelas 2 SMP”
“Bukan hanya kamu, Mas !, akupun ingin seperti itu ?”
“Lantas mengapa kamu tidak setuju aku ke Malaysia ?”
“ Kalau itu membuat kita lebih bahagia, kenapa tidak Mas ?”
“ Kalau gitu, kamu setuju?”
“Ya, setuju, Mas ?”
“Terus akan kamu lepas kapan tanah itu, mumpung  Pak Ranto berani membelinya !”
“Itulah yang aku tidak setuju, Mas. Tanah itu satu satunya peninggalan orang tuaku. Lagian Mas Hartono juga masih punya hak , bukan aku saja”
“Ah..itu gampang, Tin. Kalau aku sudah di Malaysia, kan bisa aku ganti Mas Har dengan gajiku kerja di sana
“Maaf, Mas, aku tidak setuju,memang Mas Hartono tidak pernah menuntut hak itu. Tapi dia tidak setuju kalau tanah itu dijual.
“Tertus apa artinya tanah itu untuk kehidupan kita, Tin ?”
“Mas Har minta supaya tanah itu dikelola untuk usaha atau untuk ditanami apa saja, dia tidak akan menuntut hak.Tapi dia tidak akan melepas tanah itu untuk dijual”
“Kamu memang istriku yang tidak mengerti cita-cita seorang suami.”
“Mas Sumitro,apa ke Malaysia menjanjikan segalanya ?. Tetap saja manusia tidak lepas dari KodratNYA. Aku takut Mas, keberangkatan Mas ke Malaysia justru nambah kesengsaraan kita, Apalagi dengan menjual tanah kita satu-satunya”
“Terus aku harus bagaimana, apa salah bila aku berhasil membahagiaan keluargaku, termasuk kamu, Hartini !. Aku berani bersumpah, aku tidak akan jatuh ke pelukan wanita lain, kamu sudah hapal, persis wataku..kan ?”
“Bukan masalah itu,..Mas ?”
“Masalah apalagi?”
“Kita manfaatkan saja tanah itu. Selama ini kita kan belum pernah bicara masalah ini”
“Aduuuuh, setengah mati kan Tin.Mau ditanami apa ?.Musim seperti ini tidak bakalan bisa diharapkan”
“Mas, aku diberitahu Mas Koco, temenmu di Kali Krasak”
Ada apa ?
“Dia sanggup menyediakan bibit ikan lele, dia punya relasi di Magelang. Tentu kita bisa beli, orang harganya murah. Kebetulan tanah kita bisa diairi sepanjang tahun, cocok untuk beternak lele”
“Terus mau di juual kemana lele-lele itu”
“Hualah..Mas. Setiap rumah makan pasti menyediakan menu lele kan Mas ?”
“Ah, itu terlalu beresiko, aku nggak punya modal”
‘Kebetulan Mas, aku  bisa menyisihkan modal meski hanya sedikit. Tapi untuk menggali tanah itu,harus pakai tenagamu sendiri lhoMas,bisa kan Mas “

Belum sempat Sumitro memberi jawaban, sebuah pelukan kecil dan ciuman mesra telah disodorkan istri tercintanya. Dilekatkanya bibir istrinya dengan bibir pria yang sedang diliputi kegalauan. Kini pelukan itu telah direnggangkan oleh Hartini, diganti dengan bisikan penuh pesona
“Tolong ya Mas, kali ini aku dibantu, aku pengin lebih bahagia bersamamu”
Sumitropun tak mampu lagi memberi jawaban, yang ada hanya membalas dengan ciuman yang lebih hangat dan mesra, sambil membisikan di telinga istrinya “Kamulah rembulan di atap rumah bambu ini. Aku berjanji tidak akan ke Malaysia demi kamu “.

Pesta Petir


Bersahutan petir memerahkan langit yang berjelaga, sebentar-sebentar terdengar suara  dentuman seribu meriam yang dinyalakan oleh malaikat malaikat penjaga langit. Merahnya bara api kadang kala hanya terasa sepenggalah jaraknya dengan orang-orang yang memilih bersembunyi di bawah selimut. Pekatnya malam betul betul mengungkung mereka semua, lantaran kesetiaan angin malam yang mengembara dan ikut sejenak mengambil nafas menemani tidur mereka semua yang mendengkur.

Di tengah mimpi yang mereka rajut, mereka semua sementara melupakan, bahwa acapkali pesta petir akhir akhir ini sering terjadi justru di tengah musim kemarau. Itulah yang membuat mereka belum siap untuk menyemai padi ataupun tanaman palawija di tengah cuaca yang tidak mereka kenal. Sebagian lagi lebih memilih mengikat perahunya di muara sungai, ketimbang di lahap ganasnya ombak Pantai Selatan.

Sepenggal hidup lagi harus mereka tanggalkan, lantaran alam yang sedang tidak lagi bersahabat. Bertanam padi Lokonpun mereka tangguhkan, lantaran hujan masih saja menerpa di tengah musim kemarau.  Bertanam padi apalagi, di kehidupan mereka yang dipertaruhkan pada tegalan tadah hujan, hujan belum cukup utuk menumbuhkan padi yang manja dengan air hujan. Di tengah sketsa hidup yang pelik, hanyalah putus asa yang mereka usung. Apa daya hujan dengan pesta petir telah merenggut bumi ini, maka perahu, jaring,  dan apapun yang mampu menyambung penghidupan merekapun kini bersandar.

Sang fajarpun kini menyergap mereka, meski sebagian masih berlindung di bawah selimut kumal. Namun sebagian lainnya masih menyambut hasrat membenahi bilah kehidupan yang tiada seberapa kokohnya di sekitar Goa Karang Bolong yang tandus. Meski tegalanya kini telah ditumbuhi ilalang kegetiran, namun mereka masih menyisakan tanaman singkong dan sayuran ala kadarnya untuk sarapan pagi ini.

Sang surya masih bersitegang dengan awan gelap, yang terus saja menghalangi pandanganya. Sehingga Bumi Karang Bolongpun masih dirundung kegelapan, jangankan kehidupan para petani, burung camarpun masih enggan untuk mencari mangsa. Debur ombak Pantai Karang Bolong membuat burung burung camar itu ketakutan. Hanya Suwito saja yang menapaki pagi ini untuk sekedar mencari angin di wajah pagi yang belum bersahabat itu. Sementara dari jauh masih sering terdengar suara gemuruh petir dari kejauhan,  pertanda hujanpun masih menginginkan kehadiranya kembali.

Sementara Suwitopun tahu, bahwa tegalan miliknya sudah tidak mampu memberinya penghidupan keluarganya. Namun kegetiran hatinya yang membuat dia sepagi ini berselimut embun untuk mencoba untuk menjaring angin pagi,  barangkali mampu membalut kegetiran hatinya. Setelah semalam suara nyaring istrinya mengalahkan pesta petir, mengutuk kehidupan mereka yang didera nestapa tiada berujung.

“Sudahlah  Pak, apa yang kita tunggu lagi. Kita kan tahu bahwa sudah banyak tetangga kita yang berangkat ke Bandung, meskipun di sana hanya bekerja menjadi pengemis. Daripada mengandalkan kacang hijau, kedelai dan padi. Nyatanya tetangga kita juga bisa hidup makmur”

“Dari mana kamu tahu kalau mereka mengemis di Bandung ?”. Apa dari mulut mereka sendiri ?”.

“Ya tidak, Pak !. Mereka memang tidak mau terus terang”

“Ya, terus darimana kamu tahu mereka mengemis ?”

“Aku tahu dari, Pak Lurah”

“Mengapa !, mereka tidak mau terus terang ?. Lantaran mereka malu dengan pekerjaan hina itu. Mereka selalu mengaku kalau mereka bekerja di kantor, tapi nyatanya ?. Apa kamu mau aku seperti itu ?”.

“Tapi daripada kita hidup seperti ini. Pak !,  untuk makan besok saja aku sudah tidak punya apa apa lagi. Apa lagi untuk bayar SPP anak anak kita, aku tahu mengemis adalah perbuatan yang tidak kamu sukai, tapi apa anak anak harus berhenti sekolah, apa mereka besok tidak sarapan?”

“Sudahlah, aku yakin besok Tuhan masih memberi kita rejeki. Kalau kau sudah tidak punya beras, sementara ambil saja singkong yang ada di belakang. Besok aku akan semampuku mencari tambahan. Percayalah pada Yang Mengatur Rejeki, kamu harus yakin!”.

Sarung yang lusuh yang melipat di leher Suwito, kini direntangkan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sebentar sebentar Yani putri bungsu pasangan petani itu terjaga dan menangis mencari Ibunya yang lepas dari pelukanya. Suwito kini bersama dengan seluruh warga Karang Bolong mulai merajut mimpi. Sama sekali di wajahnya tidak terdapat guratan kesedihan atau panik, karena Suwito yakin setiap kehidupan pasti akan menjemput siapa saja yang mau mengaisnya. Maka diapun sangat benci dengan tekad teman temanya satu desa yang memilih mengemis di Bandung demi sebilah penghidupan.

Pematang menuju tegalanyapun kini ikut sunyi, tiada satupun tetangganya yang berniat membenahi barang sejengkal tegalan mereka yang terendam air. Padahal tanaman jagung kuning yang ditanam pada bulan bulan lalu kini tenggelam banjir. Bukankah daunya yang masih segar bisa dimanfaatkan untuk pakan sapi dan kambing, Mengapa mereka membiarkan saja ataukah mereka menjadi mudah putus asa. Demikian bisik hati Suwito, yang menyesalkan perilaku tetangganya yang masih larut dalam dinginya pagi, lantaran dipagut hujan yang terus menerus.

Batas pandang Suwito menyapu semua sudut tegalan yang tergenag air dari sudut satu ke sudut lainnya. Bagaikan lautan luas yang tiada bertepi, perasaan getir kini menyelinap alam jantung hatinya. Inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Karang Bolong memilih menjadi pengemis di Bandung. Tanpa secuilpun upaya menyingsingkan lengan guna menepis tegalanya yang terus diterjang banjir, sementara tanah pertanian mereka menjadi kering kerontang ditikam kemarau panjang.

Sejuta bayangan dengan sayap yang terbentang kini memburu hatinya untuk segera menemukan jalan keluar mengatasi kepelikan hidup saudara saudaranya itu. Bayangan dalam hati itulah yang memaksa Suwito berjalan menuju kantor kelurahan guna menemui Marto Suseno sang Lurah Karang Bolong. Meski gagasan itu akan terkulai tak berdaya di gilas birokrasi. Namun karena tekadnya Suwito tidak mau mengikuti jejak saudara saudaranya mengemis ke Bandung,  maka gagasan si kecil itupun akan diperjuangkan mati matian.
***
“Wito !, saluran irigasi di dusun Sibayan telah ada sejak jaman Belanda dulu, namun karena petani malas merawatnya, akhirnya kini telah tertimbun tanah. Apa urusanmu dengan saluran itu ”.

“Aku tidak punya urursan dengan saluran itu, Pak Lurah !. Tapi rakyatlah yang membutuhkan demi kehidupan  mereka ?”

“Dari pertama aku menjabat lurah, aku sudah mengajak warga untuk merehabilitasi saluran tersebut. Aku tahu Wito, sebagian besar wargaku banyak yang mengemis di Bandung,karena tanah mereka tidak mampu lagi menopang kehidupan. Mereka malah lebih senang mengemis di kota besar”

“Aku heran, Pak Lurah !. Mengapa mereka senang mengemis ketimbang bertani. Padahal apabila mereka mau bekerja bakti merehabilitasi saluran tersebut, mereka akan mampu bertahan hidup di Karang Bolong”

“Penghasilan dari mengemis jauh lebih banyak dari bertani. Rata rata orang kota bisa memberi mereka lima ratus sampai seribu rupiah. Coba bayangkan berapa penghasilan mereka per hari?”

“Makanya, Pak Lurah !. Aku akan memimpin seluruh warga untuk bekerja bakti memperbaiki saluran itu. Sampai kapan, entahlah. Yamg pasti saluran itu harus selesai secepatnya “

“Itu gagasan yang bagus, Wito !. Setiap tahun aku mengusulkan dana ke atas, tetapi hingga saat ini belum turun “

“Kalau menunggu bantuan dari atas, sampai kapan kita akan mengatasi masalah ini. Lebih baik aku akan mengumpulkan teman teman untuk mrnggarapnya, setelah pekerjaan di sawah selesai. Kalau semua petani bergabung saya kira nggak akan lama selesai”

“Baguslah kalau begitu Wito, segeralah kamu kerjakan.Oh ya hari ini beras raskin sudah datang di kelurahan. Ambilah jatahmu”

Matahari telah mulai meminang wajah bumi. Jalan jalan desa yang berbatu telah mulai rame,  lalu lalang masyarakat petani di pasar Tambak Mulya mulai kentara. Mereka mulai menjual dan membeli sayur serta kebutuhan hidup lainnya. Demikian juga wajah Suminah istri Suwito yang telah ceria, kala menerima beras raskin jatahnya dan ditambah jatah dari Pak Lurah. Memang itulah Keadilan Sang Pencipta, yang telah menebarkan rejeki kepada siapapun yang selalu tawakal dan pasrah kepadaNYA.

Gaung bersambut, semua petani desa itupun sudah mendengar rencana Suwito untuk merehabilitasi saluran irigasi yang melintang tegalan mereka. Saluran itu diharapkan oleh masyarakat petani gurem mampu memberikan secercah harapan. Lantaran mereka hanya mampu mengadu nasib dengan bertanam musim. Dengan saluran itu nantinya, meski telah hadir pesta petir dengan hujan yang lebatpun tidak menepiskan mereka untuk bertanam palawija, jeruk, kedelai bahkan padi. Inilah suatu kehidupan sederhana yang mampu diusung oleh Suwito dan banyak keluarga lainya.